Esai Ringan
Belajar Memaknai Kesuksesan
Sudah
beberapa hari terakhir Kulpa murung. Ia tampak gelisah dalam segala hal.
Awalnya, saya menduga proses meniatkan pertobatannyalah yang menjadi muasal
kemurungan dan kegelisahannya. Hingga saya berani mengirim pesan via Whatsapp begini,
“Ayo ngopi.”
“Ayo.” Diresponnya cepat tanpa banyak alasan ini itu.
Sesampai di warung kopi saya
dikagetkan sesuatu. Ternyata si Kulpa sudah duduk bersila yang di hadapannya
sudah tersedia sesaji wajibnya. Es Parem dan gorengan plus sambalnya. Udud tak
ketinggalan diapit oleh jemarinya. Mukanya masih sama, mlotrok.
“Dadi
neng kene kat mau?”
“Iyo
mak.”
Saya tak buru-buru bertanya tentang
apa yang membuat mukanya mlotrok. Kata-kata yang tidak tepat akan membuat kadar
mukanya yang mlotrok akan tambah mlotrok dan menjijikkan. Saya membiarkan ia
menikmati segala kemurungan dan kegelisahan. Membebaskan seseorang dengan tidak
menganggunya bertanya dengan pertanyaan yang tidak penting adalah kebaikan.
Keheningan tampak lebih menguasai
suasana di antara kami. Asal tau saja, ngopi model begini adalah wajar
dikalangan kami. Ceritanya ngopi, tapi yang dipesan bukan kopi melainkan es
teh, es parem, es degan dan macam-macam es lainnya. Atau ceritanya ngopi yang
isinya bakal ngobrol-ngobrol pintar ala-ala tetapi nyatanya dieman, pegang hp
sibuk berchatting atau main-main dengan wi-fi. Inilah kehidupan yang penuh
basa-basi. Tetapi mau apalagi? Dibikin puisi malah jadi semacam ajang curhat
yang kadang suka kena maki-maki. Sudah cukup.
Saya memutuskan untuk merenung
kecil-kecilan. Ogah saya merenung besar-besaran ala filusuf di dunia
perfilsafatan. Bukan pakarnya, malah nanti saya tambah mumet. Hidup singkat
dilarang untuk mumet-mumetan. Makanya ala kadarnya, yang penting hidup tak
bikin susah yang lain dan mengandung banyak manfaat tanpa harus dimanfaatkan
besar-besaran.
Saya
pun mulai merenung kecil-kecilan yang berarti juga membiarkan si Kulpa tetap
dengan mukanya yang melotrok. Perenungan saya mulai dari perkataan si Kulpa
beberapa waktu lalu tentang makna sukses. Kenapa sebuah kesuksesan selalu
diukur dengan hal-hal yang berbau akademis. Saya tau kenapa si Kulpa protes
seperti itu. Kulpa dalam banyak hal akan selalu kalah bersaing dalam tataran
akademis. Saya tak akan menyebut Kulpa bodoh. Tak layak baginya menyandang
predikat itu meski kuliahnya belum kunjung lulus. Ia hanya ingin memaknai hidup
dan kehidupan lebih dalam dan bermakna. Sehingga tampaklah Kulpa dengan wujud
dan sifatnya seperti orang bodoh padahal tidak demikian.
Omongan
Kulpa tentang perkara sukses yang hanya diukur dengan hal-hal berbau akademis
layak dikupas, layak dipikirkan, pun layak pula direnungkan. Lebih jauh jika
dihayati memang kali ini Kulpa tidak sedang main-main. Meski aslinya saya juga
tau ini bagian protes kerasnya yang tidak mampu bersaing dalam ranah sukses
yang berbau akademis.
Memang
jika dihayati sepenuhnya, kesuksesan yang hanya diukur oleh nilai akademis akan
menciptakan stigma. Stigma bodoh misal jika tak mampu bersaing dalam ranah
akademis akan dilekatkan. Tentunya dalam hal ini akan memberikan sebuah efek
yang tak main-main. Minder! Sudah barang tentu akan melekat dengan sendirinya
sebelum dilekatkan dengan sadar oleh orang-orang disekitarnya.
Meski
orang-orang besar telah mengutarakan di seminar, simposium, diskusi panjang,
rapat terbuka, dsb, bahwa setiap anak memiliki kecerdasan yang berbeda-beda dan
tidak melulu pada dunia akademis, nyatanya perasaan minder itu sudah menjalar
bak jamur di musim hujan. Juga saat Beye beberapa tempo yang lalu bilang bahwa
setiap orang memiliki kesuksesan masing-masing, tetapi tetap saja dalam
batinnya akan bilang, “Malaikat lho ngerti sopo sing pinter.” Ya memang cukup
dibatin dan terkesan dugaan saya, tetapi tanpa menutup kemungkinan rasa munafik
jelas tak bisa dipungkiri. Beruntung bagi anak-anak cuek, seperti Kulpa
misalnya, apapun yang terjadi tetap woles dan no problem.
Saat
tengah asyik melanjutkan perenungan, telinga saya dikagetkan suara. Suara yang
saya kenali dan tidak asing ditelinga. Ya siapa lagi kalau tidak suara si Kulpa
yang sedari tadi ngowoh bersama muka mlotrok dengan segala kemurungan dan
kegelisahannya.
“Luwe
mak, mikir sukses sing diukur karo hal-hal berbau akademis. Aku pancen kroso
koyo wong goblok.” Dia mulai nyerocos
“Ya
piye maneh, wong nyatane koyo ngono anane. Makane ndang tobat masio ora iso
terbaik yo paling enggak nyenengke ati bapakmu.” Timpal saya mencoba
menenangkannya.
Dia
terdiam sembari klepas-klepus menimati ududnya yang tinggal sakutis. Perubahan
yang menimpa Kulpa menjadi seperti ini membuat suasana tidak asyik. Ini jelas
tidak seperti biasanya. Jika diterus-teruskan seperti ini hingga tahun 2030,
saya tidak tau apa jadinya masa depan bangsa dan masa depannya sendiri.
Tentunya ini bakal menjadi hal yang tak baik. Asal tau saja, Kulpa meski woles
dia memiliki semangat hidup nan ceria. Jika begini terus, semua akan terasa
amat menyedihkan.
Memang
berat kesuksesan yang selalu dikaitkan dengan hal-hal akademis dicapai bagi
orang seperti Kulpa dan mungkin orang-orang
yang senasib dengannya. Namun belum tentu berat apabila yang mencapai si
Beye dan mungkin orang-orang yang senasib dengannya. Hal ini tentu ringan bagi
mereka. Kendati begitu, hidup musti berlanjut dan ini adalah PR bersama yang
musti dipecahkan agar si Kulpa dan orang-orang senasib dengannya tetap sukses
dan tak merasa minder seperti itu.
“Sakjane
aku yakin kabeh uwong bakalan sukses yen wes wayahe.”
“Kapan
gek sukses sing piye?”
“Yo
embuh kapan tapi sing jelas yo ora kudu sing mambu-mambu akademis. Sebab, aku
yakin semua bakal menemui eksistensinya sendiri-sendiri.” Dia mulai jumawa
dalam berkata-kata
“Masio
sukses kui mau kur neng njero impen?” Sergah saya cepat
Mukanya
mendadak tambah mlotrok dan menjijikkan sembari mengabsen nama-nama hewan yang
tak bersalah.
Kamar Ajaib, 27 March 2018 (01.35
PM)
1 komentar
Semangat dan cerianya si kulpa itu bak kunang-kunang yang mak byar pet.
BalasHapus.
Salam buat si kulpa, semoga jalan sunyi yang ditempuhnya di aspalkan oleh tuhan yang maha penguasa.