Esai Ringan

by - Maret 27, 2018


Belajar Memaknai Kesuksesan

 





          Sudah beberapa hari terakhir Kulpa murung. Ia tampak gelisah dalam segala hal. Awalnya, saya menduga proses meniatkan pertobatannyalah yang menjadi muasal kemurungan dan kegelisahannya. Hingga saya berani mengirim pesan via Whatsapp begini,  

 “Ayo ngopi.”

“Ayo.” Diresponnya cepat tanpa banyak alasan ini itu.

            Sesampai di warung kopi saya dikagetkan sesuatu. Ternyata si Kulpa sudah duduk bersila yang di hadapannya sudah tersedia sesaji wajibnya. Es Parem dan gorengan plus sambalnya. Udud tak ketinggalan diapit oleh jemarinya. Mukanya masih sama, mlotrok.
“Dadi neng kene kat mau?”
“Iyo mak.”
            Saya tak buru-buru bertanya tentang apa yang membuat mukanya mlotrok. Kata-kata yang tidak tepat akan membuat kadar mukanya yang mlotrok akan tambah mlotrok dan menjijikkan. Saya membiarkan ia menikmati segala kemurungan dan kegelisahan. Membebaskan seseorang dengan tidak menganggunya bertanya dengan pertanyaan yang tidak penting adalah kebaikan.
            Keheningan tampak lebih menguasai suasana di antara kami. Asal tau saja, ngopi model begini adalah wajar dikalangan kami. Ceritanya ngopi, tapi yang dipesan bukan kopi melainkan es teh, es parem, es degan dan macam-macam es lainnya. Atau ceritanya ngopi yang isinya bakal ngobrol-ngobrol pintar ala-ala tetapi nyatanya dieman, pegang hp sibuk berchatting atau main-main dengan wi-fi. Inilah kehidupan yang penuh basa-basi. Tetapi mau apalagi? Dibikin puisi malah jadi semacam ajang curhat yang kadang suka kena maki-maki. Sudah cukup.
            Saya memutuskan untuk merenung kecil-kecilan. Ogah saya merenung besar-besaran ala filusuf di dunia perfilsafatan. Bukan pakarnya, malah nanti saya tambah mumet. Hidup singkat dilarang untuk mumet-mumetan. Makanya ala kadarnya, yang penting hidup tak bikin susah yang lain dan mengandung banyak manfaat tanpa harus dimanfaatkan besar-besaran.
Saya pun mulai merenung kecil-kecilan yang berarti juga membiarkan si Kulpa tetap dengan mukanya yang melotrok. Perenungan saya mulai dari perkataan si Kulpa beberapa waktu lalu tentang makna sukses. Kenapa sebuah kesuksesan selalu diukur dengan hal-hal yang berbau akademis. Saya tau kenapa si Kulpa protes seperti itu. Kulpa dalam banyak hal akan selalu kalah bersaing dalam tataran akademis. Saya tak akan menyebut Kulpa bodoh. Tak layak baginya menyandang predikat itu meski kuliahnya belum kunjung lulus. Ia hanya ingin memaknai hidup dan kehidupan lebih dalam dan bermakna. Sehingga tampaklah Kulpa dengan wujud dan sifatnya seperti orang bodoh padahal tidak demikian.
Omongan Kulpa tentang perkara sukses yang hanya diukur dengan hal-hal berbau akademis layak dikupas, layak dipikirkan, pun layak pula direnungkan. Lebih jauh jika dihayati memang kali ini Kulpa tidak sedang main-main. Meski aslinya saya juga tau ini bagian protes kerasnya yang tidak mampu bersaing dalam ranah sukses yang berbau akademis.
Memang jika dihayati sepenuhnya, kesuksesan yang hanya diukur oleh nilai akademis akan menciptakan stigma. Stigma bodoh misal jika tak mampu bersaing dalam ranah akademis akan dilekatkan. Tentunya dalam hal ini akan memberikan sebuah efek yang tak main-main. Minder! Sudah barang tentu akan melekat dengan sendirinya sebelum dilekatkan dengan sadar oleh orang-orang disekitarnya.
Meski orang-orang besar telah mengutarakan di seminar, simposium, diskusi panjang, rapat terbuka, dsb, bahwa setiap anak memiliki kecerdasan yang berbeda-beda dan tidak melulu pada dunia akademis, nyatanya perasaan minder itu sudah menjalar bak jamur di musim hujan. Juga saat Beye beberapa tempo yang lalu bilang bahwa setiap orang memiliki kesuksesan masing-masing, tetapi tetap saja dalam batinnya akan bilang, “Malaikat lho ngerti sopo sing pinter.” Ya memang cukup dibatin dan terkesan dugaan saya, tetapi tanpa menutup kemungkinan rasa munafik jelas tak bisa dipungkiri. Beruntung bagi anak-anak cuek, seperti Kulpa misalnya, apapun yang terjadi tetap woles dan no problem.
Saat tengah asyik melanjutkan perenungan, telinga saya dikagetkan suara. Suara yang saya kenali dan tidak asing ditelinga. Ya siapa lagi kalau tidak suara si Kulpa yang sedari tadi ngowoh bersama muka mlotrok dengan segala kemurungan dan kegelisahannya.

“Luwe mak, mikir sukses sing diukur karo hal-hal berbau akademis. Aku pancen kroso koyo wong goblok.” Dia mulai nyerocos

“Ya piye maneh, wong nyatane koyo ngono anane. Makane ndang tobat masio ora iso terbaik yo paling enggak nyenengke ati bapakmu.” Timpal saya mencoba menenangkannya.

Dia terdiam sembari klepas-klepus menimati ududnya yang tinggal sakutis. Perubahan yang menimpa Kulpa menjadi seperti ini membuat suasana tidak asyik. Ini jelas tidak seperti biasanya. Jika diterus-teruskan seperti ini hingga tahun 2030, saya tidak tau apa jadinya masa depan bangsa dan masa depannya sendiri. Tentunya ini bakal menjadi hal yang tak baik. Asal tau saja, Kulpa meski woles dia memiliki semangat hidup nan ceria. Jika begini terus, semua akan terasa amat menyedihkan.
Memang berat kesuksesan yang selalu dikaitkan dengan hal-hal akademis dicapai bagi orang seperti Kulpa dan mungkin orang-orang  yang senasib dengannya. Namun belum tentu berat apabila yang mencapai si Beye dan mungkin orang-orang yang senasib dengannya. Hal ini tentu ringan bagi mereka. Kendati begitu, hidup musti berlanjut dan ini adalah PR bersama yang musti dipecahkan agar si Kulpa dan orang-orang senasib dengannya tetap sukses dan tak merasa minder seperti itu.

“Sakjane aku yakin kabeh uwong bakalan sukses yen wes wayahe.”

“Kapan gek sukses sing piye?”

“Yo embuh kapan tapi sing jelas yo ora kudu sing mambu-mambu akademis. Sebab, aku yakin semua bakal menemui eksistensinya sendiri-sendiri.” Dia mulai jumawa dalam berkata-kata

“Masio sukses kui mau kur neng njero impen?” Sergah saya cepat

Mukanya mendadak tambah mlotrok dan menjijikkan sembari mengabsen nama-nama hewan yang tak bersalah.

Kamar Ajaib, 27 March 2018 (01.35 PM)

You May Also Like

1 komentar

  1. Semangat dan cerianya si kulpa itu bak kunang-kunang yang mak byar pet.
    .
    Salam buat si kulpa, semoga jalan sunyi yang ditempuhnya di aspalkan oleh tuhan yang maha penguasa.

    BalasHapus