Celoteh Alumnus Persma

by - Juni 12, 2017

Dilema Alumnus Persma
Mengapa Tak Jadi Apa-Apa?



Beberapa waktu lalu saya ngopi dengan sesama kawan alumni seangkatan yang pernah ngerasain hidup dikejar deadline. Hal yang paling seru dibahas adalah kenangan. Mengenang kembali memori menakjubkan setelah berjibaku dengan dunia jurnalistik dimana segala macam ilmu dipelajari secara autodidak. Sungguh kenangan selalu paling enak jika dibahas.

Selesai membahas kenangan -sebenarnya tidak pernah selesai- kami sengaja meloncat pada pembahasan begini nasib jadi bujangan  maksudnya jadi alumnus. Yes, you are right, dilematis, adalah akar masalah yang sedang menyerimpung perasaan kami. Menjadi alumnus persma, apa kontribusi setelahnya? Inilah bagian yang membuat prihatin adek-adek angkatan bawah jika kami berpapasan dalam suatu forum yang tak lagi sama dan kita para alumnus hanya menjadi seonggok daging tanpa aroma pers yang pernah membumbui jiwa kami.

Tentu rasa-rasa yang sedemikian absurd juga sama menghinggapi perasaan kami para -alumnus persma- yang jadi wartawan belum kompeten sementara nulis masih dalam rangking kembang kempis. Ujian hidup memang kadang tak ada panduannya. Tidak cukup sampai disitu, pembahasan ngopi dilanjut dengan pertanyaan seperti mengapa bisa begini? Dan jawaban mencengangkan  selalu muncul di antara mulut-mulut kami yang penuh dusta.

Mengapa bisa begini? Kami lalu mencoba mengambil jawaban berupa garis besar mengapa alumnus persma setelahnya dilema jadi apa. Jawaban sederhananya adalah selama jadi persma -banyak orang- yang hanya mencari jati diri. Memang khittah manusia yang sesungguhnya adalah pencarian jati diri. Di kampus Islam yang notabene pencetak sarjana muslim yang pernah kami timba ilmunya, sering mengajarkan bahwa Barangsiapa kenal dirinya, pasti akan kenal Tuhannya. Jadi pencarian jati diri, kami asumsikan bagian memupuk keimanan untuk lebih mengenal Tuhannya lewat jati diri yang dicari melalui ikut persma. Ini lumrah tetapi disini saya kadang suka menyesal.

Jati diri oleh sebagian orang dicari hingga, ehem, maksudnya sampai di rumah kerabat, tetangga, sanak famili jauh, atau saudara atas nama pergerakan. Hingga waktu yang fana menunjukkan kenyataan bahwa waktu jadi persma hanya sibuk mencari tanpa mengolah diri sendiri.Dan ketika domisioner serasa jadi pengangguran yang menambah beban masalah bagi negara. Ini yang membuat saya tersadar bahwa jati diri harus ditempa dengan melatihnya bukan mencarinya.

Masalah yang telah kami garis besari tersebut memang belum akurat.Berupa asumsi dari pengangguran yang tak memiliki profesi.Dan hanya mengisi waktu untuk menumpas ilusi yang dulu sempat dinyalakan dengan semangat berapi-api. Sebagian orang mungkin akan mengerutkan dahi atau bilang "Sesepuh gila". Tidak apa-apa, semoga kami yang suka ngopi ini salah asumsi. Dan kalian tidak ikutan sama gilanya kelak. Aamiinkan doa ini.

Tetapi perlu kiranya diluruskan, bahwa memang proses pencarian jati diri tidak akan pernah usai. Jika rentang waktu empat tahun itu digunakan untuk menempa diri misal menekuni menulis, nyari berita, nyari pamor, nyari masalah, atau nyari tampang, dimaksimalkan dengan baik, insyAllah, hasil tak akan pernah mengkhianati usaha. Katakan selama jadi persma yang idealis menekuni untuk dilakukan penelitian kenapa rezim menjijikkan selalu tampak seperi jamur yang tumbuh di dalam cawan. artinya terus beranak pinak dan meluas meski tampak menjijikkan kadang. InsyaAllah lagi, pasti beberapa tahun kemudian hanya Allah lagi yang tahu nasib seseorang.

Sebab tokoh Psikologi, Albert  Bandura, yang tiba-tiba menjadi idola saya bilang bahwa antara lingkungan dan prilaku adalah komponen yang berupa timbal balik, artinya mempengaruhi satu sama lain. Ya masa kalau sudah mengutip tokoh Psikolog dunia ini saya dicap sedang membual. Kejam kan? Bisa-bisa kalian kena kutukan. Jadi menempa diri dengan lingkungan tanpa harus kemana-mana saya yakin akan menemukan passion yang selama ini dicari dan sebagian orang sebut itu sebagai jati diri. Weslahembuh.

Dan terakhir dan bukan paling akhir, ternyata tidak cukup hanya menempa saja tanpa kesungguhan. Sebab Tuhan tidak menyukai orang-orang yang berlaku setengah-setengah. Misal setengah manusia setengah setan setengahnya lagi malaikat. Malaikat sudah ada sendiri, setan pun juga sudah ada sendiri. Yang belum adalah totalitas menjadi manusia atau dalam ruang lingkup persma totalitas berada didalamnya. Salam sayang dan mari ngopi agar pikiran kita selalu diberkahi.

You May Also Like

0 komentar