Mamak dan Dunia Literasi
Mamak dan Usaha Penanaman Literasi
Jika disuruh mendefinisikan sosok
mamak, pasti yang kudefinisikan bukan sesosok malaikat yang tak mampu
dijabarkan melalui kata-kata seperti kebanyakan orang jika diminta
mendefinisikan seperti apa sosok mamaknya. Di benakku, yang terlintas akan sosok mamak
adalah seseorang yang galak, suka melotot, hobi mengancam, dan gemar bawa sapu
jika aku nekat kabur ketika jadwal bobok siang tiba. Sungguh pendefinisian yang
sangat durhaka, tetapi memang pada faktanya tidak dapat dipungkiri memang
seperti itu dulunya.
Dibalik kebengisannya yang luar
biasa tersebut, mamak adalah sosok yang tangguh. Pernyataan tersebut bukanlah
untuk menebus dosa atas kalimat yang kutulis di paragraf sebelumnya. Faktanya,
mamak pernah menjadi seorang single
parent untuk aku. Kebengisannya adalah bentuk usaha untuk menertibkanku agar
terkendali untuk tidak menjadi anak-anak liar ketika ia sedang dinas (baca; bakul gabah). Aku masih ingat ketika
suatu siang nekat kabur untuk tidak tidur siang, hasilnya jangan ditanya.
Sekejab mamak menjadi seekor harimau yang siap menerkam mangsanya. Dengan sapu
lidi di tangan dan diacung-acungkan ia lari untuk menangkapku yang kala itu
mencoba membebaskan diri dari jadwalnya. Namun kenyataannya, ‘bruuuuuuk’, sapu lidi lebih menyukaiku.
Atau dilain kesempatan, jika
tangisku meledak tak mampu dikendalikan untuk berhenti, jalan satu-satunya
adalah menyirami aku dengan air hingga aku tergagap. Jika tangisku yang bagai
halilintar itu sudah dapat dikendalikan, maka air akan berhenti disiramkan
padaku. Mungkin jika dulu pemberitaan alay seperti sekarang, mamak sudah
mendekam dibui atas dasar tindak kekerasan terhadap anak di bawah umur.
Beruntunglah mamak terselamatkan dari berita yang alay seperti hari ini.
Jika malam datang, mamak yang ganas
bak singa yang ingin menguliti mangsanya itu benar-benar berubah menjadi
sesosok malaikat yang memang tidak memiliki sayap. Menjelang tidur, mamak menjadi
sosok yang penuh keibuan. Mungkin aslinya mamak sudah lelah berjuang demi
menghidupi tuyulnya yang tak bisa dikendalikan ketika jam bobok siang. Celah tersebut
tak kusia-siakan sedikitpun. Dengan gaya meringkuk serta minta dipeluk, aku
berusaha bertanya ini itu dan berakhir tetep kena semprot juga. Kupikir indukku
berubah jadi induk yang ramah, nyatanya sama saja. -_-
Demi mengalihkan pertanyaanku yang
tak kunjung berhenti, mamak biasanya menyuguhkan dongeng sebelum tidur. Dari sinilah usaha penanaman literasi usia dini ditanamkan oleh mamak .Aku paham betul siapa
mamak, ia bukanlah perempuan yang menempuh pendidikan hingga sarjana. Tamatan madrasah
aliyah semata. Tidak mengenal dunia literasi seperti yang aku geluti hari ini.
Tetapi lebih karena budaya bertutur zaman itu menjadi sebuah budaya yang
digandrungi dan mungkin juga didapat dengan cara turun temurun. Jadilah mamak
memanfaatkan budaya itu sebagai ajang untuk mendiamkanku agar berhenti bertanya
ini itu.
Sayangnya, perkembangan teknologi
secara masif baru berkembang beberapa tahun ini. Sehingga dongeng yang
disuguhkan mamak tak bervariasi dan cenderung dilakukan pengulangan terhadap
dongeng. Sehingga aku hafal benar cerita mamak kala itu. Ya iyalah-_-,
lha wong cuma “Kancil Nyolong Timun” atau “Kancil Nipu Buaya”. Dua cerita
kancil itu menjadi cerita legendaris di hatiku sebab cerita itu didongengkan
berulang-ulang hingga aku hafal di luar kepala hingga kini.
![]() | |
Kancil Nyolong Timun : google |
![]() |
Kancil Menipu Buaya : google |
Akibat dongeng yang diceritakan
berulang menjelang tidur itu membuat daya imajinasiku sekelas lebih maju. Menjadi
penggemar buku dan cerita-cerita yang ada di dalamnya. Dalam hal ini upaya
penanaman literasi secara sederhana yang dilakukan mamak adalah berhasil meski
di zaman itu bukan tradisi tulis yang menonjol melainkan tradisi lisan. Mamak memang
luar bisa. I’m proud of you, Mak.
Usaha yang dilakukan mamak dalam
perkembangannya mampu mengantarkanku pada dunia yang kucintai, yakni literasi. Mencintai
buku-buku dan bergelut di dunia kepenulisan merupakan salah satu jasa mamak
yang dilakukannya dahulu. Meski aku tau mamak juga tak pernah berharap banyak
pada tuyul jahatnya yang gemar menangis. Sebab bagi mamak, diamnya aku di masa
itu adalah bahagianya. Bukan mamak hendak jahat –pembelaan-, melainkan ia telah
lelah berjuang seharian dengan mepe
gabahnya itu untuk memenuhi kebutuhan kita berdua di zaman dulu. Mamak memang
juara dimanapun tempat dan ceritanya.
Maka, demi bakti yang tak cukup
hanya dibalas dengan harta apalagi hanya dengan kata-kata, kupersembahkan usaha
terbaik untuknya atas usahanya mendidikku dengan mendongeng setiap malam. Berusaha
untuk tetap meneruskan budaya literasi yang semula diajarkan dengan tradisi
tuturnya, menjadi literasi dengan tradisi
tulis. Mungkin ini berat, sebab merubah pola kebiasaan yang kadung tidak biasa
dan mengakar kuat bukan perkara enteng.
Tetapi, tidak ada salahnya untuk terus mencobanya. Sebab ini demi kebahagiaan
mamak dan demi melegakan rongga-rongga dadanya pasal tuyulnya yang banyak nanya
itu bisa menjadi sosok yang berbeda. Poinnya, menulis adalah proses istiqomah
yang dilakukan dengan sabar dan terus diulang-ulang.
0 komentar