Mamak dan Dunia Literasi

by - April 01, 2017



Mamak dan Usaha Penanaman Literasi


            Jika disuruh mendefinisikan sosok mamak, pasti yang kudefinisikan bukan sesosok malaikat yang tak mampu dijabarkan melalui kata-kata seperti kebanyakan orang jika diminta mendefinisikan seperti apa sosok mamaknya.  Di benakku, yang terlintas akan sosok mamak adalah seseorang yang galak, suka melotot, hobi mengancam, dan gemar bawa sapu jika aku nekat kabur ketika jadwal bobok siang tiba. Sungguh pendefinisian yang sangat durhaka, tetapi memang pada faktanya tidak dapat dipungkiri memang seperti itu dulunya.

            Dibalik kebengisannya yang luar biasa tersebut, mamak adalah sosok yang tangguh. Pernyataan tersebut bukanlah untuk menebus dosa atas kalimat yang kutulis di paragraf sebelumnya. Faktanya, mamak pernah menjadi seorang single parent untuk aku. Kebengisannya adalah bentuk usaha untuk menertibkanku agar terkendali untuk tidak menjadi anak-anak liar ketika ia sedang dinas (baca; bakul gabah). Aku masih ingat ketika suatu siang nekat kabur untuk tidak tidur siang, hasilnya jangan ditanya. Sekejab mamak menjadi seekor harimau yang siap menerkam mangsanya. Dengan sapu lidi di tangan dan diacung-acungkan ia lari untuk menangkapku yang kala itu mencoba membebaskan diri dari jadwalnya. Namun kenyataannya, ‘bruuuuuuk’, sapu lidi lebih menyukaiku.

            Atau dilain kesempatan, jika tangisku meledak tak mampu dikendalikan untuk berhenti, jalan satu-satunya adalah menyirami aku dengan air hingga aku tergagap. Jika tangisku yang bagai halilintar itu sudah dapat dikendalikan, maka air akan berhenti disiramkan padaku. Mungkin jika dulu pemberitaan alay seperti sekarang, mamak sudah mendekam dibui atas dasar tindak kekerasan terhadap anak di bawah umur. Beruntunglah mamak terselamatkan dari berita yang alay seperti hari ini.

            Jika malam datang, mamak yang ganas bak singa yang ingin menguliti mangsanya itu benar-benar berubah menjadi sesosok malaikat yang memang tidak memiliki sayap. Menjelang tidur, mamak menjadi sosok yang penuh keibuan. Mungkin aslinya mamak sudah lelah berjuang demi menghidupi tuyulnya yang tak bisa dikendalikan ketika jam bobok siang. Celah tersebut tak kusia-siakan sedikitpun. Dengan gaya meringkuk serta minta dipeluk, aku berusaha bertanya ini itu dan berakhir tetep kena semprot juga. Kupikir indukku berubah jadi induk yang ramah, nyatanya sama saja. -_-

            Demi mengalihkan pertanyaanku yang tak kunjung berhenti, mamak biasanya menyuguhkan dongeng sebelum tidur. Dari sinilah usaha penanaman literasi usia dini ditanamkan oleh mamak .Aku paham betul siapa mamak, ia bukanlah perempuan yang menempuh pendidikan hingga sarjana. Tamatan madrasah aliyah semata. Tidak mengenal dunia literasi seperti yang aku geluti hari ini. Tetapi lebih karena budaya bertutur zaman itu menjadi sebuah budaya yang digandrungi dan mungkin juga didapat dengan cara turun temurun. Jadilah mamak memanfaatkan budaya itu sebagai ajang untuk mendiamkanku agar berhenti bertanya ini itu.

            Sayangnya, perkembangan teknologi secara masif baru berkembang beberapa tahun ini. Sehingga dongeng yang disuguhkan mamak tak bervariasi dan cenderung dilakukan pengulangan terhadap dongeng. Sehingga aku hafal benar cerita mamak kala itu. Ya iyalah-_-, lha wong cuma “Kancil Nyolong Timun” atau “Kancil Nipu Buaya”. Dua cerita kancil itu menjadi cerita legendaris di hatiku sebab cerita itu didongengkan berulang-ulang hingga aku hafal di luar kepala hingga kini. 
Kancil Nyolong Timun : google

Kancil Menipu Buaya : google
               


        Akibat dongeng yang diceritakan berulang menjelang tidur itu membuat daya imajinasiku sekelas lebih maju. Menjadi penggemar buku dan cerita-cerita yang ada di dalamnya. Dalam hal ini upaya penanaman literasi secara sederhana yang dilakukan mamak adalah berhasil meski di zaman itu bukan tradisi tulis yang menonjol melainkan tradisi lisan. Mamak memang luar bisa. I’m proud of you, Mak.

            Usaha yang dilakukan mamak dalam perkembangannya mampu mengantarkanku pada dunia yang kucintai, yakni literasi. Mencintai buku-buku dan bergelut di dunia kepenulisan merupakan salah satu jasa mamak yang dilakukannya dahulu. Meski aku tau mamak juga tak pernah berharap banyak pada tuyul jahatnya yang gemar menangis. Sebab bagi mamak, diamnya aku di masa itu adalah bahagianya. Bukan mamak hendak jahat –pembelaan-, melainkan ia telah lelah berjuang seharian dengan mepe gabahnya itu untuk memenuhi kebutuhan kita berdua di zaman dulu. Mamak memang juara dimanapun tempat dan ceritanya.

            Maka, demi bakti yang tak cukup hanya dibalas dengan harta apalagi hanya dengan kata-kata, kupersembahkan usaha terbaik untuknya atas usahanya mendidikku dengan mendongeng setiap malam. Berusaha untuk tetap meneruskan budaya literasi yang semula diajarkan dengan tradisi tuturnya,  menjadi literasi dengan tradisi tulis. Mungkin ini berat, sebab merubah pola kebiasaan yang kadung tidak biasa dan mengakar kuat bukan perkara enteng. Tetapi, tidak ada salahnya untuk terus mencobanya. Sebab ini demi kebahagiaan mamak dan demi melegakan rongga-rongga dadanya pasal tuyulnya yang banyak nanya itu bisa menjadi sosok yang berbeda. Poinnya, menulis adalah proses istiqomah yang dilakukan dengan sabar dan terus diulang-ulang.


           

You May Also Like

0 komentar