Nasihat Mamak
Nasihat Mamak
(Catatan
Mahasiswi Tingkat Akhir di Sekolah Tinggi Berlabel Islam Negeri yang Sedang
Mengalami Transisi)
“Lek aku dadi awakmu, skripsi ndang
tak garap, gek ndang sampe, trus mungkur kari ongkang-ongkang”, nasihat mamak
kepadaku di ruang tamu selepas sindirannya di kolom komentar Facebook di
statusku tempo lalu.
![]() |
https://web.facebook.com/vivisinonaberkaca |
Tidak kubayangkan, imbas dari segala macam tingkahku yang
semula cuma untuk senang-senang di dunia maya berakhir layaknya terdakwa kasus
pencemaran nama baik keluarga. Tidak segera kutanggapi nasihat mamak. Sebab,
rasanya, udara mendadak hilang dari peredaran. Alhasil, batuk-batuk menjadi
alasan, bukan alasan udara yang mendadak hilang dari peredaran, tetapi
menanggapi nasihat mamak yang mirip sebuah dakwaan.
“Yo aku sih bisa saja mak lulus
tepat waktu tapi resikonya itu lho yang
bikin aku kadang-kadang bergidik ngeri.”, dalihku kepada mamak yang ngebet aku
cepet lulus. Aku tau mamak menyayangiku lebih dari aku menyayanginya. Alasan
jika molor satu semester bisa menunda salah satu faktor kebahagiannya di masa tuanya adalah
bisa kumaklumi. Seperti halnya lebih kumaklumi betapa mubadzirnya menjadi
-donatur kampus- istilah kami para mahasiswa jika SPP yang dibayar tidak untuk
alokasi sebagaimana mestinya, seperti molor. Lalu mendanai uang bensin yang
lebih baik menurutnya ditabung untuk berhaji segera ketimbang membiayai anaknya
yang ngeyelan dan tak kunjung memikirkan skripsi. Dan uang jajan yang
kuhamburkan untuk menambah pendapatan orang-orang kaya, yang bagi mereka,
pemasukan dariku cuma seperti kebiasaanku beramal di masjid, cuma segitu. Semua
itu bagi mamak adalah mubadzir.
“Si fulanah, habis dari universitas
ternama di kota Pahlawan berakhir di pelaminan, mak.”, cetusku sesantun mungkin
agar tak dikutuk jadi batu akik yang habis manis sepah dibuang. “Yo kerjo to
nduk, aku paham nek saiki awakmu iku istilah kasare jomblo. Aku ora ngakon
awakmu rabi ndang-ndang tapi nek wes wayahe yo gek ndang rabi.” Dalam batin,
ini namanya maju mundur tetep kepentung. Berpikir keras supaya tak dikutuk jadi
batu akik dan selamat dari berondongannya agar cepet lulus merupakan usahaku
menghadapi nasihat mamak yang menakutkan. “Si Fulan mak, lulusan universitas
ternama di kota yang mendapat julukan “The Spirit of Java” sudah dua tahun ini
menjadi daftar pengangguran negara. Mending menjadi pengangguran terakreditasi,
mak. Lebih terhormat dan tidak dicemooh masyarakat,” bantahku. “Dasar bocah bebal!”,
serunya ketus.
“Menyelesaikan studi tepat waktu itu
benar dan tidak salah. Tetapi setelahnya masih baru berpikir mau apa itu yang
menurut hematku salah. Hidup pasca lulus kuliah bukan lagi hidup yang bisa
diwarnai sepenuhnya oleh ekspektasi. Hidup pasca lulus adalah hamparan realita
yang kadang kala mirip pil pahit, musti ditelan agar tampak sehat, gitu mak”
“Tetapi tak kasih tau yo, lulus
adalah langkah awal untuk menentukan kemana selanjutnya kamu akan melangkah. Tanpa
itu nihil, kecuali kamu harus kerja keras dua kali lipat.”
Berbicara dengan mamak selalu
membuatku takut. Setiap kalimat yang keluar darinya mengandung banyak ranjau
yang ampuh untuk melumpuhkan segala dalih yang kukemukakan alias bantahanku
yang paling ulung. Bukan tanpa dasar mamak bicara seperti itu, tetapi aku tau,
pengalaman yang mendidiknya mampu berpikir jernih di atas rata-rata.
Kupandangi wajah mamak sekali lagi,
kulihat sorot matanya yang lebih mirip induk srigala yang buas, tetapi
kutemukan banyak harapan besar dan kasih sayang. Di usianya yang tak lagi timur
(muda), harapannya adalah melihat anaknya hidup dengan kebahagiaan. Entah kebahagiaan
macam apa yang menjadi definisi dan ukuran bagi mamak. Yang jelas, ini
kegetiran yang wajib aku telan bagaimanapun alasannya.
Kulihati kulitnya yang mulai kisut
pasal tak lagi muda membuatku membatin, “Salah siapa hidup dihabiskan untuk
mengomeliku, kisut kan jadinya?” Tetapi aku tau, kisutnya bukan disebabkan
kebanyakan mengomel. Tetapi karena faktor “U” (USIA). Seperti kata pepatah, “Semua
akan kisut pada waktunya”. Mamak, mamak, rasanya aku tak tega mencederai
batinmu.
“Jadi kamu mau lulus kapan?”, ulang
mamak sekali lagi.
“Segera! Nggak mungkin sekarang lalu
wisuda sendirian! Nanti konyol”
“Siap tahun ini?”, tanyanya lebih
menekan.
“Hanya Tuhan yang tau segala nasib
manusia, tugas kita adalah berusaha sisanya berdoa, mak.”
“Jangan gemar bertekuk lutut di
hadapan takdir, nanti kamu menjadi orang yang kerjaannya banyak-banyak pasrah
ketimbang usaha”, terang mamak mulai membuka mimbar dakwah.
“Sekali lagi mak, seperti halnya
ibadah haji, lakukan bila mampu,” lalu segera aku menghambur menjauhinya.
Disela berlarinya aku keluar rumah,
bunyi asbak rokok terdengar bergelontang mengenai pintu. Rasanya bahagia bisa
menangkis serangan dengan sederhana. Sekali lagi, maafkan anakmu yang konyol
ini mak. Aku pasti lulus segera dan segera lulus. Demi bahagia di hati kita
masing-masing.
0 komentar