Nasihat Mamak

by - Januari 04, 2017



Nasihat Mamak


(Catatan Mahasiswi Tingkat Akhir di Sekolah Tinggi Berlabel Islam Negeri yang Sedang Mengalami Transisi)


            “Lek aku dadi awakmu, skripsi ndang tak garap, gek ndang sampe, trus mungkur kari ongkang-ongkang”, nasihat mamak kepadaku di ruang tamu selepas sindirannya di kolom komentar Facebook di statusku tempo lalu.
https://web.facebook.com/vivisinonaberkaca
Tidak kubayangkan, imbas dari segala macam tingkahku yang semula cuma untuk senang-senang di dunia maya berakhir layaknya terdakwa kasus pencemaran nama baik keluarga. Tidak segera kutanggapi nasihat mamak. Sebab, rasanya, udara mendadak hilang dari peredaran. Alhasil, batuk-batuk menjadi alasan, bukan alasan udara yang mendadak hilang dari peredaran, tetapi menanggapi nasihat mamak yang mirip sebuah dakwaan.

            “Yo aku sih bisa saja mak lulus tepat waktu  tapi resikonya itu lho yang bikin aku kadang-kadang bergidik ngeri.”, dalihku kepada mamak yang ngebet aku cepet lulus. Aku tau mamak menyayangiku lebih dari aku menyayanginya. Alasan jika molor satu semester bisa menunda salah satu  faktor kebahagiannya di masa tuanya adalah bisa kumaklumi. Seperti halnya lebih kumaklumi betapa mubadzirnya menjadi -donatur kampus- istilah kami para mahasiswa jika SPP yang dibayar tidak untuk alokasi sebagaimana mestinya, seperti molor. Lalu mendanai uang bensin yang lebih baik menurutnya ditabung untuk berhaji segera ketimbang membiayai anaknya yang ngeyelan dan tak kunjung memikirkan skripsi. Dan uang jajan yang kuhamburkan untuk menambah pendapatan orang-orang kaya, yang bagi mereka, pemasukan dariku cuma seperti kebiasaanku beramal di masjid, cuma segitu. Semua itu bagi mamak adalah mubadzir.

            “Si fulanah, habis dari universitas ternama di kota Pahlawan berakhir di pelaminan, mak.”, cetusku sesantun mungkin agar tak dikutuk jadi batu akik yang habis manis sepah dibuang. “Yo kerjo to nduk, aku paham nek saiki awakmu iku istilah kasare jomblo. Aku ora ngakon awakmu rabi ndang-ndang tapi nek wes wayahe yo gek ndang rabi.” Dalam batin, ini namanya maju mundur tetep kepentung. Berpikir keras supaya tak dikutuk jadi batu akik dan selamat dari berondongannya agar cepet lulus merupakan usahaku menghadapi nasihat mamak yang menakutkan. “Si Fulan mak, lulusan universitas ternama di kota yang mendapat julukan “The Spirit of Java” sudah dua tahun ini menjadi daftar pengangguran negara. Mending menjadi pengangguran terakreditasi, mak. Lebih terhormat dan tidak dicemooh masyarakat,” bantahku. “Dasar bocah bebal!”, serunya ketus.

            “Menyelesaikan studi tepat waktu itu benar dan tidak salah. Tetapi setelahnya masih baru berpikir mau apa itu yang menurut hematku salah. Hidup pasca lulus kuliah bukan lagi hidup yang bisa diwarnai sepenuhnya oleh ekspektasi. Hidup pasca lulus adalah hamparan realita yang kadang kala mirip pil pahit, musti ditelan agar tampak sehat, gitu mak”

            “Tetapi tak kasih tau yo, lulus adalah langkah awal untuk menentukan kemana selanjutnya kamu akan melangkah. Tanpa itu nihil, kecuali kamu harus kerja keras dua kali lipat.”

            Berbicara dengan mamak selalu membuatku takut. Setiap kalimat yang keluar darinya mengandung banyak ranjau yang ampuh untuk melumpuhkan segala dalih yang kukemukakan alias bantahanku yang paling ulung. Bukan tanpa dasar mamak bicara seperti itu, tetapi aku tau, pengalaman yang mendidiknya mampu berpikir jernih di atas rata-rata.

            Kupandangi wajah mamak sekali lagi, kulihat sorot matanya yang lebih mirip induk srigala yang buas, tetapi kutemukan banyak harapan besar dan kasih sayang. Di usianya yang tak lagi timur (muda), harapannya adalah melihat anaknya hidup dengan kebahagiaan. Entah kebahagiaan macam apa yang menjadi definisi dan ukuran bagi mamak. Yang jelas, ini kegetiran yang wajib aku telan bagaimanapun alasannya.

            Kulihati kulitnya yang mulai kisut pasal tak lagi muda membuatku membatin, “Salah siapa hidup dihabiskan untuk mengomeliku, kisut kan jadinya?” Tetapi aku tau, kisutnya bukan disebabkan kebanyakan mengomel. Tetapi karena faktor “U” (USIA). Seperti kata pepatah, “Semua akan kisut pada waktunya”. Mamak, mamak, rasanya aku tak tega mencederai batinmu.

            “Jadi kamu mau lulus kapan?”, ulang mamak sekali lagi.

            “Segera! Nggak mungkin sekarang lalu wisuda sendirian! Nanti konyol”

            “Siap tahun ini?”, tanyanya lebih menekan.

            “Hanya Tuhan yang tau segala nasib manusia, tugas kita adalah berusaha sisanya berdoa, mak.”

            “Jangan gemar bertekuk lutut di hadapan takdir, nanti kamu menjadi orang yang kerjaannya banyak-banyak pasrah ketimbang usaha”, terang mamak mulai membuka mimbar dakwah.

            “Sekali lagi mak, seperti halnya ibadah haji, lakukan bila mampu,” lalu segera aku menghambur menjauhinya.

            Disela berlarinya aku keluar rumah, bunyi asbak rokok terdengar bergelontang mengenai pintu. Rasanya bahagia bisa menangkis serangan dengan sederhana. Sekali lagi, maafkan anakmu yang konyol ini mak. Aku pasti lulus segera dan segera lulus. Demi bahagia di hati kita masing-masing.


You May Also Like

0 komentar